Hingga akhirnya bulan September kemarin, secara mendadak bapak mertua meninggal. Ketika beliau meninggal entah mengapa semua kenangan tentang "rumah" Malang ter-recall kembali. Kehilangan bapak mertua, yang di beberapa bulan terakhir entah mengapa hubungan denganku menjadi lebih dekat. Aku yang mungkin dengan papiku sendiri tidak begitu dekat, namun entah mengapa Allah sedikit memberikanku waktu untuk sedikit ikut merawat bapak mertua.
Sejak bapak mertua meninggal, tentunya ibu mertua atau suami beberapa kali mengajakku ke makam bapak mertua. Saat itu aku sempat berpikir, kakakku marah nggak ya? Saudaraku yang di Malang tersinggung nggak ya? Kok aku sering ke makam bapak mertua, sedangkan ke makam orang tuaku sendiri terakhir mungkin ya waktu mereka dimakamkan.
Walau saat menulis ini, aku bisa memastikan mereka tidak ada pikiran jelek tentangku.
Baca juga : Bakti
Mengapa aku bisa berkata mereka tidak ada pikiran jelek tentangku. Karena akhirnya ketika hari sabtu, awal Oktober kemarin ketika suami ada acara kerjaan di Malang, aku ditawari ikut. Di mana nanti aku bisa kemana aja di Malang selama dia lagi kerja. Dan ketika dia menawarkan hal itu, langsung aku iyakan. Aku pengen ke makam mami papi.
Berangkat pagi, naik sepeda motor sampai terminal Purabaya dan kemudian lanjut nge-bus ke Malang. Sampai Malang, naik angkot. Aku sudah lupa dengan rute angkot, dan bodohnya nggak nanya-nanya dulu. Jadi ya modal nekat aja. Naik angkot dengan tanda AG, suami turun di hotel tempat acara kerjanya hari itu, dan aku lanjut ke makam. Bodohnya kan ketika suami udah turun di depan hotelnya, aku baru bilang pak supir aku mau ke Sukun (daerah tempat makam berada). Ternyata aku salah angkot harusnya naik GA. Akhirnya diturunkan pak supir di tempat aku bisa naik angkot GA.
Apakah lancar? Hmmmm hehehehe, rasanya seperti berpetualang karena kebodohan diri sendiri.
Oke, akhirnya aku dapet angkot GA dan aku bilang "Sukun ya,Pak" tentu di jawab "ya, mbak!"
Setelah angkot jalan, tentu aku berharap bapaknya akan berhenti nanti di depan pemakaman dan ngasih tau. Ternyata nggak! Bukan salah pak supirnya, karena ya aku kan tadi cuma bilang "Sukun ya, Pak." Pak angkotnya berhenti sampai ujung daerah sukun!! Kebablasan pemirsaaaaaah!!
Ketika bapaknya bilang "sukun pojok mbak", aku turun walau bingung. Hahaha, dan baru menyadari kebodohanku. Kalo aku nggak bilang bapaknya turun di pemakaman. Akhirnya aku naik GA lagi dan bilang "Kuburan Sukun, Pak!", dan sepanjang jalan aku duduk dekat pintu keluar dan ngeliatin keluar terus supaya nggak kebablasan lagi. Hahahaha.
Sebenarnya aku hafal betul letaknya, bahwa pemakaman sukun ini letaknya dibelakang pom bensin. Tapi entah kenapa hari itu seperti oleng aja gitu. Akhirnya ketika pom bensin, pak sopirnya berhenti. Hahaha, bener kan ingatanku.
Ketika turun, clingak clinguk doooonk aku. Mencari penjual bunga untuk di tabur di makam, dan tidak ada satu pun!!! Lah dalah, piye iki.
Tapi ya masa' gara-gara bunga aku nggak jadi ke makam. Hehehe, lanjut lah.
Ketika sampai di makam, aku mencari Pak Harto, nama yang diberikan oleh kakakku. Belaiu ini yang membantu mengurusi makam, setidaknya menunjukkan letaknya ketika aku atau keluarga ada yang datang. Kemudian beliau juga yang akan menyuruh seorang temannya untuk membantu membersihkan makam ketika ada yang datang. Dibonceng beliau akhirnya aku ke makam mami dan papi. Tanpa membawa bunga, hanya air minum yang itupun sudah kuteguk seperempat.
Makam papi sudah di kijing, makam mami belum, masih berupa gudukan tanah dengan banyak ilalang diatasnya. Jadi ketika pak Harto dan temannya membersihkan makan mami, aku duduk disamping makam Papi. Ku tuang sedikit air minum di tanaman yang dikanan kiri pojok atas makam. Aku hanya bisa duduk, terdiam. Ngomongnya dalam hati, papi pasti bisa dengerkan walau aku ngomongnya dalam hati.
Melihat ke nisan papi, tertulis tahun lahirnya 1923. Wow Pi, sekarang kalau papi masih ada udah 100 tahun ya umur papi. Kemudian melihat tahun meninggalnya papi, 2015. Nggak berasa ya Pi udah 8 tahun.
Setelah Pak Harto selesai membersihkan makam mami, aku duduk disebelah makam mami. Sama, hanya berbicara dalam hati. Mami pergi, 1 tahun setelah kepergian papi dan di bulan kelahiran papi. Sesayang itu ya mi, sama papi.
Entah kenapa, penyesalan itu ada. Tapi papi sama mami tentu nggak keberatan aku berbakti dan membantu suami untuk merawat mertua. Ya kan, pi... ya kan mi...
Salah satu omonganku ke mereka... "Papi Mami kok ngerjain inge sih, dibikin salah angkot dulu, dibikin kebablasan dulu, nggak bilang kalo nggak ada orang jual bunga. Nyesel atuh nggak bisa tabur bunga di makam papi mami. Seneng bener gitu loh ngerjain anaknya, mentang-mentang anaknya nggak pernah ke makam, ya? Mana baterai HP habis lagi, kan aku jadi nggak bisa foto loh, padahal aku selalu dikirimi foto sama Lena kalo pas dia ke makam"
Semua ceritaku diatas aku ceritakan ke Lena, kakakku setelah aku duduk di KFC Sarinah Malang, sambil nunggu suamiku selesai acara kantornya. Dan dia cuma ketawa. Aku bilang "aku loh nggak bawa bunga" dia bilang "halah... wes nggak apa-apa sing penting keinginanmu ke makam kan wes terlaksana toh"
Mbak Titieq sepupuku juga aku kabari kalo aku kemakam mami papi, yang ternyata dueket banget sama makam Mami Coba, tanteku, ibu mbak Titieq dan mbak Titin. Dan mereka langsung menghubungiku, ngasih tau aku harus menemui pak Harto. Padahal aku wes ketemu Pak Harto, hahaha. Dan ya, mereka tidak ada yang mempermasalahkan aku yang jarang mengunjungi makam mami papi.
Alhamdulillah, memiliki saudara yang begitu pengertian walau komunikasi tidak intens tapi tetap terjaga.
Mi, Pi. InsyaAllah nanti lagi ya Inge main ke Malam. Suk mben lek nang makam, aku nggowo bunga tekan suroboyo ae, ndek kene cidek omah onok sing dodolan kembang! Hehehe.
No comments:
Post a Comment