Pages

Mar 19, 2021

Satu Tahun Belajar Dari Rumah


Sudah satu tahun anak-anak belajar di rumah. Ada plus minusnya pasti, tapi apakah sudah satu tahun masalah yang saat awal dihadapi sama, atau malah lebih parah atau sudah mulai bisa penyesuaian? 

Kalau saya?

Kangen anak-anak sekolah lagi pasti, kangen nyiapin bekal. Kangen punya waktu me time yang lebih banyak. Hahaha. 

Tapi bagaimana dengan pendampingan anak-anak? 

Ya, mulai ada rasa bosan juga dengan apa yang harus dihadapi anak-anak. Mendengarkan materi dari youtube atau video yang diberikan guru, kemudian diberikan tugas. Walau ya, jika awalnya tugas hanya berupa google form dengan model soal pilihan ganda, sekarang buku paket mulai digunakan. Tidak pada kedua anak sih, ada yang buku paket kaya jadi bawaan aja gitu nggak ada yang dikerjakan langsung dibuku. Masih ada kelas yang tugasnya lebih banyak mengerjakan dari google form.

Kurang? 

Ya, jelas kurang sih kalau menurut saya. Anak-anak mulai malas mencatat, mereka sudah mulai mengerti penggunaan HP / laptop dimana mereka bisa membuka google form dan juga halaman materi secara bersamaan. Mending kalau tugasnya berupa pemahaman, tapi ternyata tak sedikit yang kemudian isinya ya penggalan-penggalan langsung dari materi. 

Protes?

Hahaha, bisa dikatakan saya sudah lelah untuk protes. Bukan tidak lagi mau berusaha yang terbaik untuk anak-anak. Tapi ya, satu guru dengan guru lain tentu berbeda. Satu mulai oke, tapi ada yang tetap saja. Masa iya tiap ada sesuatu kudu protes mulu.

Lalu apa yang saya lakukan?

Saya fokus saja pada anak-anak. Mulai memilah mana yang membutuhkan perhatian lebih, mana yang bisa `sudah lah ya...`. Berusaha agar anak-anak tetap mau mencatat, setidaknya melatih motorik halus mereka. Tentang materi berupa hafalan seperti Qur`an Hadist tetap memberi waktu khusus anak-anak untuk menghafal. Selepas magrib biasanya. 

Ada satu hal yang dari awal saya lakukan, yaitu saat anak-anak harus mengisi google form, mereka mengerjakan sendiri kemudian langsung di submit. Saya periksa ketika mereka sudah submit, baru kemudian jika ada yang salah sama-sama mencari salahnya di mana. Karena terkadang ada soal yang harusnya benar ternyata disalahkan, dan kemudian saya tanyakan kegurunya. Dan akhir-akhir ini, karena laptop bermasalah dan anak-anak punya HP sendiri saya mulai meminta mereka menghubungi gurunya sendiri.

Hal yang saya lakukan itu sempat ditanyakan oleh guru anak-anak ketika saya mengambil rapot mereka, baik rapor tengah semester maupun rapor semester satu, dimana nilai anak-anak banyak yang tidak sempurna. Entah salah satu atau dua, pokoknya jarang banget dapet nilai 100. Gurunya sempat bertanya “Ini anaknya mengerjakan sendiri semua ya Bu, kok selalu ada aja salahnya, salah satu atau dua kadang sayang aja gitu Bu”

Saya cuma bisa nyengir aja, dan bilang “iya bu”.

Pelajaran apa yang jadi konsern saya untuk anak-anak?

Matematika, Bahasa Inggris, dan Akidah Akhlak.

Metematika saya masih bisa lah mendapingi, walau sempat anak saya bilang “Ibu sama Ayah kuliahnya matematika, tapi aku kan gak harus jago matematika kan Bu?” Tetapi untuk bahasa Inggris saya sebenarnya bisa mengikuti pelajarannya, tetapi rasanya kurang aja gitu, sayanya nggak bisa mengembangkan. Untungnya di dekat rumah ada yang bisa ngajari anak-anak. Alhamdulillah.

Kemudian Akidah Akhlak, selain materinya penting tetapi di sekolah anak-anak ketika memasuki kelas 3 pelajaran akidah akhlak ini materinya menggunakan huruf pego. Saya mau tak mau belajar juga donk, ayahnya bisa tapi kan lebih seringnya yang mendampingi anak-anak belajar kan saya, kalau nunggu ayahnya waaaaaah... 

Apakah pelajaran lain tidak penting? Ya sama pentingnya, namun kalau untuk saya 3 pelajaran diatas itu yang butuh perhatian khusus. Sebenarnya ada 1 lagi, yaitu hafalan Juz Amma. Sebenarnya Ziandra dan Zianka bisa belajar sendiri, tetapi kalau tidak diberikan target dan tidak disimak, terkadang mereka hilang ara, hahahaha. 

Bukan hilang arah yang gimana-gimana sih, seperti misal biasanya sehari bisa menambah hafalan 3-5 ayat, kalau nggak dijaga, bisa tuh seminggu nambahnya ya cuma 3-5 ayat itu saja.

Sebenarnya mengawasi anak belajar itu sudah biasa saya lakukan, semenjak mereka kecil. Tapi kalau dulu, materi dan pembelajaran yang diberikan guru di sekolah kan lebih maksimal dibandingkan sekarang.  Di rumah cukup setelah magrib dan isya mereka hanya perlu mengulang lagi pelajaran yang diberikan. Bahkan saya kangen memberikan soal tambahan untuk mereka, kalau sekarang... hmmm rasanya lelah untuk sekedar membuka kembali materi mereka dan memberikan soal tambahan.

Hal lain yang saya syukuri adalah kegemaran mereka membaca. Mungkin materi dari guru mereka tidak maksimal, tetapi dari kegemaran mereka membaca wawasan mereka tetap bertambah. Sampai terkadang, pertanyaan yang mereka ajukan membuat saya dan suami saling adu pandang. Dan ketika kami bicara berdua selalu ada lontaran kalimat “dulu kita ngapain aja sih pas SD, kok rasanya dulu kita bahkan nggak terpikir apa yang mereka tanyakan.” 

Jadi intinya, ya... saya juga mulai lelah kok dengan sistem belajar di rumah ini. Tetapi, ya mau tak mau memang harus dijalani. Tinggal mari sama-sama mencari cara masing-masing untuk kemudian menghindari orang tua yang darah tinggi dan hubungan dengan anak jadi tak lagi menyenangkan. Yup, cara masing-masing, dan tak perlu menilai bagaimana cara orang lain. Sharing tapi tanpa ngejudge. :)

2 comments:

  1. Pastinya ya, Mbak, terasa lelah. Bisa dimengerti banget. Tetap semangat terus ya, Mbak, menemani anak-anak belajar dari rumah. Semoga pandemi ini lekas berakhir dan semuanya kembali normal.

    ReplyDelete
  2. Pendamping yang baik memang orang tua, dan pengalaman yang disharing mengenai belajar dari rumah yang dirasakan oleh hampir semua orang tua. Cerita yang menarik Bu, semangat.

    ReplyDelete