Beberapa film Indonesia yang merupakan adaptasi dari sebuah novel pernah saya tonton, namun entah mengapa dari yang saya tonton tersebut sedikit membuat kecewa. Seperti yang saya katakan diatas, bahwa membandingkan film dengan novelnya adalah hal yang tidak mungkin, namun sebagai pembaca terkadang yang diharapkan adalah bagaimana cara agar cerita yang ada di novel tersebut tersampaikan secara 3D kepada penikmatnya.
Buat saya yang paling membuat kecewa adalah perubahan cerita yang begitu drastis. Jika hanya terinspirasi oleh cerita dalam novel mungkin masih mungkin ya hanya diambil inti dari novel tersebut. Namun jika dari awal cerita sudah sama alurnya dengan novel kemudian di ending dirombak sedemikian rupa, yang ada buat saya sih jadi mengecewakan.
Namun ada satu yang menarik, yaitu film dari adaptasi novel karya Ika Natassa. Sudah tiga buku karya Ika Natassa diadaptasi menjadi bentuk film, yaitu Critical 11, Antologi Rasa, dan yang akan segera tayang Twivortiare.
Waktu dibuat filmnya, tentu saya jadinya maju mundur buat nonton. Tapi ya sekali lagi, kalau nonton film ekspektasinya jangan ditinggiin dulu atau sekalian aja tanpa ekspektasi. Hahaha, itu kalau saya ya, terlebih setelah beberapa film adaptasi novel yang membuat saya kecewa.
Buku pertama Ika Natassa yang difilmkan adalah Critical 11. Hal pertama yang saya lakukan tentu saja tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Walau ya strategi marketing yang dilakukan Ika Natassa bisa dikatakan sangat bagus, bisa membuat pembaca bukunya tidak sabar untuk menonton filmnya. Dan ketika akhirnya saya nonton di bioskop, tak disangka saya suka sekali dengan filmnya. Konflik yang dirasa terlalu dibuat-buat dalam buku seperti bisa dijelaskan dalam film. Jadi walau sudah membaca bukunya, rasanya saat menonton filmnya lebih terasa apa yang disampaikan dalam buku.
Kemudian ketika akhirnya novel Antologi Rasa difilmkan, saya kembali tertarik donk.. Secara novelnya aja adalah novel yang paling saya suka. Namun kembali, saya nggak mau naruh ekspektasi terlalu tinggi dulu.
Hal menarik sebelum akhirnya filmnya tayang dibioskop adalah ketika pengumuman pemeran. Refal Hady di film Critical 11 berperan sebagai Harris, dimana Harris ini juga menjadi tokoh di Antologi Rasa. Namun ternyata bukan Refal yang memerankan Harris, namun Harjunot Ali.
Kecewa, sedikit. Namun kembali lagi, kan nggak bisa menilai sebelum nonton. Saya nontonnya kali ini nggak sendiri, namun bareng satu temen yang kebetulan juga suka karya Ika.
Namun, untuk film kedua ini bisa dikatakan saya merasa biasa saja. Tidak semenarik film Critical 11, dimana saat keluar dari bioskop bisa kerasa pengen baca bukunya lagi dan nonton filmnya lagi. Mulai dari pemerannya, ya walau tidak bisa dibilang aktingnya jelek, tapi buat saya ada yang seperti dipaksakan. Seperti Harjunot yang entah kenapa lebih terasa saat di akhir film yang dia harus sedikit serius atau Keara yang mungkin ingin ditunjukkan sebagai wanita tegar tapi kemudian saat adegan nangis jadi nggak natural. Hehe, ini hanya sekedar penilaian saya ya.
Jadi terasa lucu, ketika Novel Ika Natassa yang kurang saya suka filmnya bisa buat saya ingin membaca novelnya lagi. Namun jutru untuk novel yang saya suka, filmnya terasa biasa saja.
Jika untuk Critical 11 rasanya tak membaca bukunya, langsung menonton filmnya semua masih bisa dinikmati. Namun jika Antologi Rasa, saya sarankan untuk membaca bukunya terlabih dahulu, karena ada bagian yang terasa kosong walau coba dijelaskan melalui narasi yang ada.
Besok, 29 Agustus, film Twivortiare akan tayang, kalau saya sih tetap pengen nonton filmnya. Semoga bisa sebagus Critical 11.
No comments:
Post a Comment