Puasa

Saya tentunya tidak punya pengalaman puasa ketika kecil, karena saya baru memeluk agama islam itu ketika SMA. Dan ketika awal menjalani puasa walau mungkin juga terasa berat, tetapi tentu tak seberat ketika seorang anak kecil belajar puasa. Memperbanyak aktifitas tapi yang tidak sampai membuat kelelahan, itu yang saya lakukan dulu.

Hingga akhirnya ketika kuliah mulai tidak lagi padat saya sering ngabuburit di masjid, bukan masjid dekat rumah tetapi di masjid tengah kota. Tak ada alasan khusus saya memilih masjid itu. 

Dulu, hal yang paling kurang mengenakkan mungkin adalah saat-saat sahur. Walau ada yang membangunkan, tetapi tetap saja saya harus sahur sendirian. Awalnya mungkin nggak enak, tapi karena sudah terbiasa jadinya ya... biasa saja. Sering diisi dengan chatting bareng beberapa kelompok teman, jadi ya tak terasa begitu sepi.

Setelah menikah, yang paling saya ingat justru ketika saya hamil. Alhamdulillah selama hamil bisa berpuasa full selama 1 bulan penuh. Begitupun ketika Ziandra lahir, saya masih belum mendapatkan tamu bulanan karena waktu itu masih menyusui eksklusif untuk Ziandra. Jadi selama sekitar 4tahun berturut-turut saya bisa puasa full selama satu bulan.

Tentu banyak yang sekedar mengingatkan tentang pengaruh pada janin, atau bayi yang sedang disusui. Bahkan ada yang dengan frontal melarang saya berpuasa dengan alasan nanti anak-anak tidak mendapatkan nutrisi. Terlebih ketika tahun 2012 saat saya hamil Zianka dan masih menyusui Ziandra (karena dia belum genap 2 tahun).

Ada yang bilang saya egois karena memaksakan diri puasa tanpa memikirkan anak-anak.

Tanggapan saya? Waktu itu saya sih cuman senyum aja, hehehe.

Karena, ya buat apa dijelasin panjang lebar. Yang dalam pikiran saya saat itu, pembuktian. 

Yup, pembuktian bahwa walau saya puasa, anak-anak kebutuhan nutrisinya tetap terjaga. Tetap tidak gampang sakit. Perkembangan janin sesuai dengan yang seharusnya. Hingga puasa berakhir, hingga waktu berganti dan tahun berganti dan memasuki puasa selanjutnya. 

Apakah mereka sudah tidak nyinyir? Tetep tuh, hahaha. Jadi bener kan buat apa dijelasin, wong dengan pembuktian aja nggak ada guna.

Kembali ke puasa. Kemarin saat hari pertama puasa dan saya berbuka di rumah dengan suami dan anak-anak. Tegukan pertama air putih pastinya terasa begitu nikmat. Sampai camilan akhirnya kandas dan suami sukses bersendawa. Alhamdulillaaaah. Hehehe. Sebelum sholat magrib, suami sempat nyeletuk, 'puasa nikmatnya kaya' gini kok masih banyak yang gak mau puasa ya?'

Saya tau dia cuman melontarkan pertanyaan retorika, nggak butuh jawaban karena dia sendiri tau jawabannya.

Tapi saya sih ceriwis jadi ya jawab aja, hahahaha.

Karena orang sebelum bayangin nikmat ketika berbuka, yang dibayangin pertama adalah nggak enaknya nggak bisa makan dan minum selama beberapa jamnya itu.

Penutup dari suami sebelum akhirnya beranjak wudhu, 'laaaah urip kan ancen ngunu, kudu gelem soro disik...baru iso nikmati seneng e.'

Yah, obrolan seperti itu yang kadang seperti tak ada gunanya tapi bisa jadi alarm buat kami sendiri dalam menjalani hidup.